BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Pembangunan perikanan nasional mengamanatkan bahwa kualitas sumberdaya manusia merupakan kunci pokok dalam menentukan keberhasilan program pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sumberdaya manusia menjadi salah satu upaya pokok yang harus diwujudkan. Dengan demikian upaya peningkatan kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia mutlak diperlukan guna mendukung keberhasilan pembangunan.
Dalam rangka mendukung hal tersebut, kami sebagai taruna-taruni Sekolah Tinggi Perikanan mengikuti Praktik Pengenalan Kehidupan Masyarakat Pesisir (PPKMP). Tujuanya adalah untuk mengetahui dan memahami serta memiliki kesamaan cara pandang terhadap kehidupan masyarakat pesisir (nelayan, pengolah, dan petani tambak).
Lokasi praktik ini adalah di desa Ciparage Jaya, kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Di Daerah ini banyak terdapat petani tambak.. Teknologi yang digunakan oleh sebagian petambak di sini relatif tradisional. Dalam pelaksanaan budidaya perikanan di tambak-tambak tersebut, para petani tambak menghadapai banyak permasalahan. Oleh karena itu, dalam praktik ini kami menyusun laporan guna mendeskripsikan berbagai masalah yang dihadapi oleh para petani tersebut beserta cara penyelesaiannya
I.2 TUJUAN
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah:
Memberikan gambaran kepada para pembaca mengenai potensi perikanan budidaya di desa Ciparage Jaya.
Meberi masukan kepada petani setempat mengenai solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami tersebut.
Menggambarkan teknis budidaya yang biasa dilakukan oleh petani tambak di desa Ciparage Jaya.
I.3 BATASAN MASALAH
Dalam penyusunan laporan ini, penyusun membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup:
(a) Persiapan lahan
(b) Penebaran benih
(c) Pemeliharaan
(d) Permasalahan dalam budidaya
(e) Panen dan pasca panen
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan Praktik Pengenalan Kehidupan Masyarakat Pesisir ini dilakukan pada tanggal 5 maret s.d 18 maret tahun 2009 yang berlokasi di desa Ciparage Jaya, kecamatan Tempuran, kabupaten Karawang, Jawa Barat.
II.2 KEGIATAN
Pada Praktek Pengenalan Kehidupan Masyarakat Pesisir ini akan dijelaskan mengenai teknik budidaya yang biasa dilaksanakan oleh petani tambak yang ada di desa Ciparage Jaya. Sekaligus membandingkan dengan teknik budidaya secara teoritis.
II.2.1 Tahapan Budidaya
II.2.1.1 Pengeringan dan penjemuran lahan
Tambak yang telah dipanen kemudian dikeringkan dan di jemur. Proses penjemuran ini dilakukan sampai dengan kondisi tanah di pelataran retak atau pecah-pecah. Proses ini dilakukan tanpa membalikan tanah yang ada di pelataran. Tujuan dari penjemuran ini adalah : untuk mengoksidasi bahan anorganik yang bersifat toksic (racun) yang berasal dari sisa metabolisme biota pada siklus sebelumnya. yang dipelihara. Contohnya: amonia (NH3), nitrit (NO2), H2S, dan lain lain. Secara teori, pengeringan harus dilakukan dengan pembalikan tanah terlebih dahulu dengan tujuan agar unsur hara yang ada di dalam tanah juga ikut teroksidasi.
II.2.1.2 Pengangkatan lumpur
Pengangkatan lumpur dilakukan di sekitar caren. Karena pengangkatan lumpur itu sendiri (yang dalam bahasa lokal disebut kedok teplok atau caer) dimaksudkan untuk memperbaiki desain pematang serta menutupi kebocoran pada pematang yang disebabkan oleh hama dan menambah kedalaman caren. Sedangkan fungsi dari caren ini adalah : sebagai tempat berlindung udang pada saat cuaca panas dan mempermudah penanganan pada saat panen.
II.2.1.3 Pemupukan
Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dan TSP dengan perbandingannya 2:1. Kadar urea yang diberikan sekitar 8 gram per meter persegi dan TSP sebanyak 4 gram per meter persegi. Seandainya luas tambak 2,5 hektar maka urea yang diberikan sebanyak 2 kwintal sedangkan TSP yang diberikan sebanyak 1 kwintal. Pemupukan hanya dilakukan di pelataran. Pemupukan ini dilakukan 3 hari sebelum pemasukan air. Menurut literatur, pemupukan yang baik dilakukan dengan cara menebarnya secara merata pada pelataran maupun pada caren.
Fungsi dari pemupukan ini adalah untuk menumbuhkan plankton sebagai pakan alami bagi biota yang dipelihara. Di desa Ciparage ini sistem budidaya yang diterapkan ialah sistem tradisional plus, dimana pada pemeliharaannya mengandalkan pakan alami sebagai pakan pokok bagi biota serta mengandalkan pasang surut untuk pengisian airnya.
II.2.1.4 Pengairan tahap 1
Tiga hari setelah pemupukan, tambak mulai diairi. Sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak tersebut lansung berasal dari laut jawa. Mula – mula air laut masuk melalui saluran primer (saluran utama) kemudian diairi kesaluran skunder, setelah itu masuk ketambak – tambak yang ingin diairi. Dan untuk petakan ini, air yang masuk hanya mencapai ketinggian caren. Sedangkan pelatarannya masih dalam kondisi kering, kemudian pintu pemasukan ditutup.
II.2.1.5 Pemberian pestisida
Pestisida yang digunakan adalah saponin. Tujuan pemberian saponin ini adalah untuk membunuh hama yang ikut masuk pada saat pemasukan air. Sasarannya adalah biota yang memiliki sel darah merah atau haemoglobin. Sedangkan untuk menangani hama atau kompetitor yang tidak memiliki haemoglobin (contohnya siput) digunakan brestan. Pemberian saponin ini dilakukan 5 hari sebelum penebaran benur atau PL(osla). Dengan dosis 1,6 ppm. Reaksi saponin ditandai dengan adanya buih pada permukaan air.
II.2.1.6 Penebaran benur
Benur sebaiknya diambil dari tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat pemeliharaan. Hal ini dimaksudkan agar benur atau bibit yang akan dipelihara tidak mengalami stres dalam perjalanan. Dengan kata lain, untuk mengurangi tingkat mortalitas pada saat penebaran. Waktu penebaran dapat dilaksanakan pada pagi maupun sore hari, ini dikarenakan pada waktu itu suhu di permukaan dan di dalam air relatif sama. Adapun tahap-tahap dari penebaran ini adalah:
(i) Penebaran benur dilakukan sekitar lima hari setelah pemberian saponin.
(ii) Pemasangan waring di pinggiran tambak dengan ukuran lebar sekitar 15 cm. Masing-masing ujung waring tertutup.
(iii) Plastik (media penyimpanan benur) dimasukan ke dalam air yang telah dibatasi oleh waring.
(iv) Melakukan aklimatisasi suhu terlebih dahulu
(v) Membiarkan plastik tenggelam secara perlahan agar benur di dalamnya keluar dengan sendirinya.
(vi) Benur yang lepas dan terisolir dalam waring tersebut diberi pakan buatan berbentuk serbuk selama dua hari
Setelah dua hari, waring mulai dibuka agar benur bisa keluar memenuhi ruang kosong didalam tambak. Secara teoritis, proses pertama kali yang dilakukan pada saat aklimatisasi adalah dengan memasukan kantong plastik ke dalam petakan tanpa membukanya terlebih dahulu dan menunggu sampai timbulnya embun di dalam dinding kantong plastik tersebut. Karena hal itu menandakan suhu air di luar dan di dalam kantong plastik telah sama. Setelah itu plastik dibuka dan diberi air (dari tambak) sedikit demi sedikit untuk menyesuaikan salinitas. Adapun padat tebar yang terapkan oleh petani budidaya di desa ciparage ini adalah 4 ekor / m2.
II.2.1.7 Pengairan tahap 2
Setelah 45 hari sejak pertama benur ditebar, baru dilakukan pemasukan air tahap 2 sampai ketinggian air mencapai 25 cm dari pelataran. Pemasukan air tahap dua ini biasanya menggunakan pompa, ini dikarenakan kesalahan pada sistem saluran primer sehingga pasang naik tertinggi tidak dapat masuk ke dalam tambak secara optimal, pompa yang digunakan dengan kapasitas 8-12 PK yang telah dipasang waring pada saluran pengeluarannya. Cara ini dimaksudakan untuk menghindari masuknya hama pada saat pemasukan air. Pemasukan air dilakukan secara bertahap, yaitu selama 4 jam per hari selama terjadinya pasang naik.
Namun menurut teorinya, pemeliharaan benur didalam caren kurang efisien karna benur akan mengalami kekurangan oksigen dikarenakan sempitnya ruang gerak udang. Hendaknya setelah pemupukan, air yang dimasukkan langsung 100% lalu pemasukan benur.
II.2.1.8 Sampling pertumbuhan
Setelah dua bulan pemeliharaan, ganggang yang ada di tambak diangkat keluar tambak, pengangkatan ganggang dilakukan dengan cara diangkat sendiri. Disamping itu, petani juga melakukan sampling setiap bulannya. Sebagian besar warga Ciparage ini melakukan sempling dengan cara gogo (langsung turun ketambak dan mengambil sendiri udangnya), biasanya sampling ini dilakukan untuk mengetahui kapan waktu panen udang tersebut. Secara teori tujuan sampling adalah untuk mengetahui pertumbuhan biota yang dibududayakan, kesehatannya, dan sebagai asumsi waktu panen sebaiknya dilakukan. Sampling dilakukan stiap minggu setelah biota telah berumur memadai.
II.2.1.9 Panen
Pemeliharan dengan menggunakan sistem tradisional ini selama 3-4 bulan panen. Setelah 3-4 bulan pemeliharaan panen dilakukan dengan cara pengeringan tambak hingga air 20 cm dari dasar tambak. Selanjutnya udang diambil secara manual (dalam bahasa lokal disebut gogoh), atau menggunakan saponin.
II.2.1.10 Pemasaran
Pada saat panen, tengkulak (penampung) didaerah setempat langsung datang untuk mengambil hasil panen kemudian mendistribusikannya. Jadi para petani, langsung mendapatkan hasil panen dari penampung tersebut.
II.2.2 Teknologi Budidaya
Teknologi yang digunakan sebagian besar petani tambak di Ciparage adalah teknologi tradisional dengan menggunakan asarana yang sederhana. Adapun sarana tersebut adalah: penggunaan tandon, penggunaan pompa, penggunaan pintu air baik itu yang terbuat dari kayu maupun dari pipa PVC.
II.2.2.1 Pompa Air
Pompa air yang dimaksud adalah pompa yang berfungsi untuk memasukan air dari sumber air ke dalam petakan tambak serta membantu proses pengeluaran air ketika panen. Pompa yang digunakan rata-rata berkapasitas 12 PK dengan bahan bakar solar atau bensin.
II.2.2.2 Pintu Air
Pintu air adalah tempat pemasukan dan atau pengeluaran air secara pasif. Sebagian besar para petambak budidaya setempat hanya menggunakan satu pintu air dalam satu petak. Sehingga inlet dan outlet menjadi satu. Ada dua macam pintu air yang digunakan, yaitu pintu air yang terbuat dari pipa PVC dan pintu air yang terbuat dari kayu.
II.2.2.2.1 Pintu air yang terbuat dari Pipa PVC
Pipa yang digunakan berukuran sekitar 8 inch yang dipasang pada tanggul atau pematang sebagai tempat keluar masuknya air.
II.2.2.2.2 Pintu air yang terbuat dari kayu
Pintu air ini berbentuk persegi panjang yang membentuk sekat pada pematang sehingga memungkinkan keluar masuknya air.
II.2.2.3 Laha atau kere
Laha adalah salah satu biosekuriti yang dipasang di tambak pada saluran inlet yang bertujuan untuk mencegah masuknya hama ke dalam tambak pada saat pemasukan air. Pemasangan laha dilapisi waring agar telur ikan yang ukurannya lebih kecil tidak masuk ke dalam tambak.
II.2.3 Permasalahan Budidaya
Dalam melakukan kegiatan budidaya tentunya ada saja permasalahan yang timbul sehingga dapat menghambat kegiatan budidaya yang dilakukan. Adapun permasalahan yang sering timbul dan cara penanggulangan dari masalah tersebut yaitu: permasalahan eksternal dan internal.
II.2.3.1 Permasalahan Eksternal
Adapun permasalahan eksternal dalam kegiatan budidaya yaitu predator, kompetitor dan keamanan
II.2.3.1.1 Predator
Adalah hama pemangsa terhadap biota yang dipelihara. Contohnya, ular (reptil) dan burung bangau (aves).
Adapun cara penceghannya yaitu pada golongan reptil, kita dapat membasminya dengan cara pemberian saponin pada saat persiapan tambak, hal ini dikarenakan ular termasuk hewan yang memiliki haemoglobin (sel darah merah). Dan cara penanggulangannya yaitu dengan cara pengontrolan langsung ketambak.
II.2.3.1.2 Kompetitor
Adalah hama pesaing terhadap biota yang dipelihara baik persaingan pakan maupun persaingan oksigen dalam air. Selain itu golongan kompetitor juga merugikan para pembudidaya karena golongan kompetitor dapat merusak konstruksi tambak. Contohnya, kepiting dan udang liar (crustacea), belut (angguila), ikan-ikan liar (pisces). Adapun pencegahan atau penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemasangan filter atau inves (sejenis saringan atau pagar yang terbuat dari anyaman bambu) yang dipasang pada pintu pemasukan dan dapat juga dipasang bubu pada pintu pemasukan. Penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian saponin pada saat persiapan.
II.2.3.1.3 Keamanan
Keamanan merupakan salah satu faktor yang sangat perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan dalam kegiatan buididaya. Keamanan yang tidak terjamin dapat menimbulkan berbagai maslah pada pembudidaya, contohya yaitu sering terjadinya pencurian biota yang dipelihara sehingga terjadinya kerugian ekonomi.
Kurangnya rasa solidaritas masyarakat, sehingga kebanyakan dari mereka sering melakukan kegiatan yang dapat merugikan pembudidaya lain seperti membuka pintu air pada tambak yang sedang beroperasi.
Adapun cara penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu bekerja sama dengan para pembudidaya lain untuk melakukan pejagaan secara bergantian dilokasi tambak mereka. Juga melakukan pendekatan sosial budaya kepada masyarakat setempat.
II.2.3.2 Permasalahan Internal.
Permasalah internal yaitu permasalahan yang timbul dari biota itu sendiri. Contohnya seperti penyakit. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbunya penyakit yaitu: faktor lingkungan (air atau media hidup), biota yang dipelihara, patogen (bibit penyakit).
Berikut gambar interaksi dari ketiga faktor tersebut.
Dari ketiga faktor tersebut ternyata yang paling berpengaruh terhadap timbulnya penyakit yaitu lingkungan. Hal ini dikarenakan jika lingkungan itu buruk atau jelek maka biota yang dipelihara akan mengalami stres dengan demikian kondisi biota menjadi lemah, dengan demikian bibit penyakit dapat dengan mudah menyerang biota yang dipelihara.
Adapun penyakit yang menyerang pertambakan didaerah ciparage dalam 5 tahun terakhir ini yaitu:
II.2.3.2.1 WSSV (White Spot Syndrom Virus)
Penyakit ini diindikasikan dengan timbulnya bintik-bintik putih diseluruh tubuh udang. Hal ini disebabkan oleh parameter kualitas air yang buruk. Wabah virus ini dapat mengakibatkan kematian masal dalam waktu yang singkat. Adapun pencegahan yang dapat dilakukan melalui pengelolaan kualitas air, dengan cara melakukan pergantian air secara rutin.
II.2.3.2.2 Stress
Stress adalah kondisi dimana terganggunya fungsi fisiologis pada udang atau ikan sehingga sistem kerja pada tubuh udang tidak berfungsi secara optimal. Stress dapat menyebabkan ikan atau udang malas untuk beraktifitas (ikan atau udang dalam kondisi lemah) sehingga dalam waktu singkat mudah terserang penyakit. Adapun sebab-sebab ikan atau udang terserang stress yaitu kualitas air yang kurang baik (lingkungan), sistem imun (kekebalan tubuh) yang rendah, serta patogen (penyebab penyakit), penanganan saat tebar (aklimatisasi).
Adapun cara penanggulangan dari stress ini adalah pengontrolan kualitas air dengan cara sering melakukan pergantian air, pemeliharaan kebersiahan tambak baik sampah organik maupun anorganik.
II.2.3.2.3 Pencemaran lingkungan
Pencemaran lingkungan merupakan salah satu permasalahan yang sulit ditanggulangi oleh para pembudidaya. Didesa ciparage ini pencemaran lingkungan banyak disebabkan oleh:
II.2.3.2.4 Limbah rumah tangga
Limbah rumah tangga dapat berupa sampah anorganik. contohnya, plastik pembungkus makanan, dan lain-lain. Sampah ini dapat mencemari kulitas air untuk budidaya.
II.2.3.2.5 Limbah pertanian
Limbah pertanian dapat berupa efek samping dari penggunaan pestisida yang berlebihan. Pada saat perawatan sawah, sebagian besar petani menggunakan pestisida untuk membasmi rumput liar disekitaran sawah mereka. Didesa ciparage ini saluran utama pengairan untuk tambak digunakan juga untuk mengairi beberapa sawah masyarakat. Oleh karena itu besar kemungkinan pestisida yang digunakan juga tercampur atau terlarut pada saluran utama (saluran primer) yang digunakan juga pada pembudidaya, ini sangat berakibat fatal bagi komoditas yang dipelihara seperti stress pada ikan atau udang karena terganggunya kualitas air pada media hidup ikan atau udang.
II.2.3.2.6 Limbah industri
Adapun limbah-limbah industri yang mencemari lingkungan maupun sumber air berasal dari limbah tekstil dan limbah pertamina. Limbah-limbah ini dapat mencemari perairan laut yang merupakan sumber air untuk seluruh pertambakan didaerah ciparage ini. Adapun penanggulangan yang dapat dilakukan untuk meminimilisasi dampak dari limbah industri itu yaitu dengan penanaman mangrove disepanjang pantai.
II.2.3.2.7 Kualitas Sumber Daya Manusia
Salah satu permasalahan yang cukup berpengaruh pada keberhasilan budidaya yaitu kurangnya pengetahuan para pembudidaya tambak mengenai masalah perikanan sehingga hasil yang diperoleh atau tingkat kehidupan dari biota yang dipelihara sangat kecil.
II.2.4 Produksi Perikanan Di Desa Ciparage
Produksi ikan bandeng dan udang di desa Ciparage 5 tahun terakhir ini meningkat walaupun ada diantaranya yang mengalami kemunduran ataupun gagal panen, namun secara umum produksi hasil tambak di desa Ciparage untuk setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Tingkat kehidupan (Survival rate) udang untuk setiap petani tambak di desa ciparage ini adalah 20 %. Hal ini disebabkan oleh terlalu besarnya jumlah padat tebar untuk tiap hektarnya sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat beradaptasi atau hidup dengan baik.
Ikan bandeng yang dibudidayakan di desa Ciparage ini memiliki tingkat produksi yang lebih tinggi dari pada udang. Rata-rata tingkat kehidupan (Survival rate) ikan bandengn mencapai 50%. Hal ini dikarenakan cara pemeliharaan ikan bandeng lebih mudah daripada cara pemeliharaan udang.
Secara garis besar berdasarkan data dari para responden, tingkat produksi di desa ciparage ini tiap tahunnya mengalami peningkatan sebesar 2 %.
II.3 Analisa Usaha
Data analisa usaha yang penyusun sajikan adalah data usaha selama satu siklus tanam, yaitu selama 4 bulan. Berikut data analisa usaha yang kami peroleh:
No | Jenis Biaya | Kebutuhan | Harga Satuan (Rp) | Jumlah (Rp) | Keterangan Pemakaian |
1 | Biaya Tetap | Tambak | 125.000/bln | 500.000 | 4 bulan |
Pajak | 11.250/bln | 45.000 | 4 bulan | ||
Nener | 200/ekor | 800.000 | 4.000 ekor | ||
Oslah | 20/ekor | 800.000 | 40.000ekor | ||
Urea | 1900/kg | 380.000 | 2 kwintal | ||
TSP | 2400/kg | 240.000 | 1 kwintal | ||
Saponin | 2500/kg | 50.000 | 20 kg | ||
Buruh | - | 500.000 | - | ||
Pompa | 21250/bln | 85.000 | 4 bulan | ||
2 | Biaya tidak tetap | Upah panen | - | 400.000 | - |
Biaya lain-lain | - | 200.000 | - | ||
Total | | 4.105.000 | |
Hasil panen:
Bandeng 130Kg dengan harga @ Rp 13.000, jadi harga total Rp 1.690.000
Udang windu 83 Kg dengan harga @ Rp 60.000, jadi harga total Rp 4.980.000
Udang api-api 96 Kg dengan harga @ Rp 20.000, jadi harga total Rp 1.920.000
Maka keuntungan = HASIL PANEN - BIAYA OPERASIONAL
= Rp 8.590.000 - Rp 4.105.000
= Rp 4.485.000
Jadi, keuntungan yang didapatkan oleh petani tambak budidaya setiap siklus rata-rata mencapai Rp 4.485.000. Data tersebut merupakan hasil merata-ratakan dari interview 10 narasumber di lapangan.
§
o
§
§
o
·
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
II.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktik yang kita lakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Desa ciparage memiliki potensi perikanan yang cukup besar dalam sub sektor budidaya perikanan.
II.5 Saran
Saran yang dapat kami berikan demi membangun potensi perikanan khususnya dalam subsektor budidaya perikanan agar lebih baik lagi yaitu:
II.5.1 Sebaiknya para petani tradisional menggunakan tandon dalam sistem pemasukan air.
II.5.2 Perlunya menjaga kualitas air dengan cara melakukan pergantian air secara rutin.
II.5.3 Sebaiknya para petani melakukan pengangkatan lumpur secara rutin meskipun hal itu dilakukan setahun sekali.
II.5.4 Sebaiknya bibit diambil dari daerah terdekat dari tempat pemeliharaan supaya bibit tidak mengalami stress saat perjalanan.
0 coment(s):
Posting Komentar