PAPER BAHASA INDONESIA
PEMBAHASAN ARTIKEL
Perbaikan Ragam
Pemilu 2009 dan Efisiensi Ongkos Demokrasi
Pada tahun 2009 ini akan menjadi “tahun politik”. Pada bulan April 2009, pemilu legislatif dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan pemilu presiden. Belum lagi pemilihan bupati/wali kota dan gubernur. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah negeri pemilu. Dana negara yang nilainya triliunan pun dikeluarkan. Untuk pemilu legislatif tahun 2009 saja akan menelan biaya sekitar Rp 9 triliun. Belum lagi, biaya pemilu presiden putaran pertama dan kedua, yang tentu akan membebani anggaran negara.
Angka yang luar biasa, sekaligus mengundang ironi akan glamor demokrasi. Di satu sisi, rakyat melalui APBN/APBD harus membiayai proses “melahirkan” para pimpinannya baik di eksekutif maupun legislatif. Di sisi lain, muncul pertanyaan besar, apakah “pesta” demokrasi dengan biaya tinggi ini akan melahirkan pemimpin adiluhung yang diharapkan mereka? Jawabannya sangat sulit ditemukan di tengah rakyat yang tak lagi memiliki kepercayaan yang cukup kepada partai politik dan para pengurusnya.
Kita tahu bersama, hilir-mudik aliran dana pemilu tidak saja yang dibiayai negara. Sang kandidat pun harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Untuk pemilu legislatif dan pilkada, mayoritas caleg/cabup/cawali/cagub sama-sama harus diawali dengan mengeluarkan "mahar politik". Ditambah biaya untuk sarana dan aksesori kampanye lainnya seperti pembelian kaus, spanduk, stiker, liflet, gantungan kunci, kalender, buku, honor saksi, survei, tim sukses, dan lain lain.
Apakeh yang dicari oleh calon-calon pemimpin itu? Jawabannya tentu kekuasaan, kedigdayaan struktural, kehormatan, dan kemuliaan di mata yang dipimpinnya. Tapi, libido politik manusia mana yang tak mengharap pamrih setelah berkuasa?
Calon pemimpin mana pun (walau selintas sekalipun) pasti terpikir bahwa biaya politik yang sudah dikeluarkan itu harus kembali bahkan harus bertambah berkali lipat. Kendati, setelah menjabat harus melakukan abuse of power. Hanya manusia yang saleh dan ikhlas yang memiliki energi cukup untuk melupakan pamrih politik demikian.
Pemilu tidak saja merupakan proses demokratis dalam memilih pemimpin baru (eksekutif dan legislatif), tapi momentum ini juga bisa menjadi arena “perjudian politik”. Disebut perjudian politik, tentu bukan sekadar pada timbangan halal-haram, tapi lebih pada taruhan menang-kalah baik yang dilakoni sang kandidat maupun pelaku “judi” di level masyarakat. Spekulasi yang menjurus “perjudian politik” ini memang ciri politik yang dominan dalam masyarakat yang menjalankan sistem demokrasi. Di sisi lain, biaya demokrasi pun semakin mahal, sementara transisi menuju konsolidasi demokrasi pun belum tentu tercapai. Karena itu, usaha merancang kehidupan yang lebih demokratis semakin “menjauhkan panggang dari api”.
Bagi bangsa kita yang sedang "mabuk" demokrasi, memang pemilihan umum menjadi wahana kedaulatan rakyat. Namun, pada praktiknya, kedaulatan rakyat—saat rakyat tak berdaya secara ekonomi—mudah dikontrol oleh "daya dan kedaulatan uang". Akibatnya, kedaulatan dan partisipasi publik sebagai hakikat demokrasi takkan “menyala” di tengah “padamnya” nurani bangsa.
Rakyat bisa digiring ke kanan, ke kiri, dan ke tengah, bahkan melompat-lompat bergantung pada kandidat atau partai mana yang memberikan "gizi" lebih tinggi. Pada level ini, bukan tak mungkin, rakyat akan larut dalam spekulasi politik yang dimainkan para pemegang kekuasaan.
Pengendalian uang dalam politik baik dalam pemilihan eksekutif maupun legislatif sudah tidak asing lagi. Sudah sering kita mendengar seorang calon kepala desa, anggota parlemen, bupati/wali kota atau gubernur yang menghabiskan ratusan juta atau miliaran rupiah, tetapi gagal meraih kekuasaan. Entah dana pribadi, pinjam sana-sini, atau bahkan menggadaikan sertifikat rumah, tanah, atau mobil teman dan kerabatnya.
Saat uang yang dikeluarkan menjadi sia-sia karena kalah dalam pemilihan, tidak sedikit para kandidat yang mengalami disorientasi dan stres berat. Kendati tidak dinafikan adanya celah terpilihnya pemimpin yang benar-benar didasarkan karena kecintaan publiknya terhadap sang calon pemimpin. Namun, tidak jarang kita mendapati kenyataan bahwa uang mampu “mengalahkan” kecintaan, solidaritas, dan persaudaraan. Apakah ada jalan tengah yang bisa ditempuh agar biaya demokrasi bisa ditekan seminimal mungkin? Tentu ada, walaupun sangat sulit untuk melaksanakannya.
Secara garis besar, pembaharuan bisa diawali dengan meninjau kembali sistem pemilihan langsung kepala daerah. Untuk efisiensi, pemilihan kepala daerah dikembalikan ke format semula, yakni oleh DPRD. Cukup pemilihan presiden dan kepala desa saja yang dipilih secara langsung. Pada pemilihan kepala daerah oleh DPRD, kampanye akan terlokalisir di sekitar gedung wakil rakyat. Biaya ekonomi dan risiko sosial seperti konflik horizontal juga bisa dihindari. Namun, agar masyarakat mengenal para calon pemimpinnya, perlu diadakan debat publik dan iklan layanan masyarakat melalui media cetak dan elektronik yang menjadi tugas KPU. Ini bagian dari tahapan uji publik sebagai penjaringan aspirasi dan bahan pertimbangan anggota dewan yang akan memilih bupati/wali kota atau gubernur di daerah pemilihan masing-masing.
Oleh karena itu, presiden perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau merevisi UU Pemilu dan UU No 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk efisiensi, pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dilakukan secara bersamaan. Ini memang membutuhkan "keikhlasan politik" incumbent sebagai bakti mereka kepada negara dengan merelakan sebagian waktu jabatannya dipotong atau disesuaikan dengan waktu pilkada gabungan.
Melalui cara ini, pilkada bisa dilakukan secara serentak se-Indonesia. Rasanya, tidak terlalu sulit bila para kepala daerah menyadari beban berat yang harus ditanggung APBN/APBD bila pilkada dilakukan secara terpisah.
Seiring dengan itu, perlu segera ada pembaruan mentalitas dan budaya politik elite dan masyarakat untuk tidak berjual-beli suara lewat pilkada, bersikap gambling, dan habis-habisan dengan mempertaruhkan segala yang dimiliki. Pada saat yang sama, kita perlu mempromosikan sifat keikhlasan politik dan kenegarawanan bagi segenap individu di negeri ini, terutama bagi para calon pemimpinnya agar tidak terjerumus dalam arena “perjudian politik”.
Pendahuluan
Artikel diatas menjelaskan kepada para pembaca bahwa kondisi sistem politik di Indonesia sangat merugikan negara. Hal tersebut terjadi karena proses pelaksanaan demokrasi yang berlebihan sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar. Sebagai contoh, pemilihan pimpinan daerah baik itu berupa pilkada, pilgub, dan lain-lain dilaksanakan secara terpisah. Masing-masing pemilihan pimpinan daerah tersebut membutuhkan biaya tersendiri yang jumlahnya tidak sedikit. Sehingga APBN maupun APBD menjadi terlokalisir kepada proses pemilihan ini.
Selain menghabiskan biaya negara, pelaksanaan demokrasi di Indonesia, dalam hal ini pemilu, menjadi ajang taruhan bagi para pemilih di kalangan masyarakat maupun di kalangan kandidat. Spekulasi yang menjurus “perjudian politik” ini memang ciri politik yang dominan dalam masyarakat yang menjalankan sistem demokrasi. Di sisi lain, biaya demokrasi pun semakin mahal, sementara transisi menuju konsolidasi demokrasi pun belum tentu tercapai. Karena itu, usaha merancang kehidupan yang lebih demokratis semakin “menjauhkan panggang dari api”.
Pemilihan umum sesuai dilaksanakan pada negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Namun hal tersebut harus diimbangi dengan mentalitas rakyatnya. Karena apabila tidak diimbangi dengan hal itu, maka praktik demokrasi mudah dikontrol oleh "daya dan kedaulatan uang". Akibatnya, kedaulatan dan partisipasi publik sebagai hakikat demokrasi takkan “menyala” di tengah “padamnya” nurani bangsa.
Solusi yang diajukan oleh penulis artikel dalam artikel di atas adalah dengan meninjau kembali sistem pemilihan langsung kepala daerah. Untuk efisiensi, pemilihan kepala daerah dikembalikan ke format semula, yakni oleh DPRD. Cukup pemilihan presiden dan kepala desa saja yang dipilih secara langsung. Pada pemilihan kepala daerah oleh DPRD, kampanye akan terlokalisir di sekitar gedung wakil rakyat. Biaya ekonomi dan risiko sosial seperti konflik horizontal juga bisa dihindari. Agar masyarakat mengenal para calon pemimpinnya, perlu diadakan debat publik dan iklan layanan masyarakat melalui media cetak dan elektronik yang menjadi tugas KPU. Ini bagian dari tahapan uji publik sebagai penjaringan aspirasi dan bahan pertimbangan anggota dewan yang akan memilih bupati/wali kota atau gubernur di daerah pemilihan masing-masing.
Penulis beranggapan bahwa presiden perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau merevisi UU Pemilu dan UU No 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk efisiensi, pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dilakukan secara bersamaan. Ini memang membutuhkan "keikhlasan politik" incumbent sebagai bakti mereka kepada negara dengan merelakan sebagian waktu jabatannya dipotong atau disesuaikan dengan waktu pilkada gabungan. Melalui cara ini, pilkada bisa dilakukan secara serentak se-Indonesia. Rasanya, tidak terlalu sulit bila para kepala daerah menyadari beban berat yang harus ditanggung APBN/APBD bila pilkada dilakukan secara terpisah.
Pembahasan
Menurut pendapat saya, memang keadaan sistem politik di Indonesia saat ini memang sangat merugikan negara. Misalnya yang terjadi di daerah tempat tinggal saya, diadakan pemilihan lurah. Untuk mendukung terlaksananya kegiatan itu diperlukan kertas khusus untuk proses “pencoblosan” yang mungkin harga per lembarnya jauh lebih mahal dari kertas fotocopy biasa. Kemudian selain daripada kertas khusus tersebut, diperlukan juga tinta khusus yang juga mungkin lebih mahal dari tinta biasa kerena tinta tersebut katanya tidak dapat hilang selama tiga hari. Kemudian barang lain yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pemilihan ini adalah kotak suara yang terbuat dari aluminium. Kotak ini selalu diganti pada saat pelaksanaan pemilihan yang akan datang.
Coba anda bayangkan, bila barang-barang penunjang diatas selalu diadakan pada setiap pemilihan lurah di seluruh indonesia, berapa anggaran yang harus disediakan, dalam hal ini pemerintah daerah, untuk melaksanakan kegiatan ini? Belum lagi biaya itu akan membengkak mengingat jumlah kelurahan di Indonesia yang sangat banyak. Biaya tersebut belum diakumulasikan dengan pemilihan bupati dan pimpinan yang lebih tinggi lagi sampai akhirnya pada tingkat pemilihan presiden yang tentu saja membutuhkan biaya yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilihan lurah. Jadi, tidak berlebihan bila dikatan bahwa pemilihan pimpinan di setiap tingkat pemerintahan hanya merupakan pemborosan belaka.
Penutup
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari artikel tersebut adalah bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini tidak efisien ditinjau dari segi biaya.
Saran penulis untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan kembali lagi pada sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD kecuali untuk pemilihan presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Fadhly, Fahrus Zaman. “Pemilu 2009 dan Efisiensi Ongkos Demokrasi”,Tribun Jabar, 8 Januari 2008, hal. 14.
LAMPIRAN
Pemilu 2009 dan Efisiensi Ongkos Demokrasi
Aris Sukmawijaya
Pemilu 2009 dan Efisiensi Ongkos Demokrasi
KAMIS, 8 JANUARI 2009 | 00:45 WIB
TAHUN 2009 ini akan menjadi tahun politik. Pada April 2009, pemilu legislatif digelar, lalu dilanjutkan dengan pemilu presiden. Belum lagi pemilihan bupati/wali kota dan gubernur. Jadilah, Indonesia negeri pemilu. Dana negara yang nilainya triliunan pun digelontorkan. Untuk pemilu legislatif 2009 saja, disepakati akan menelan biaya sekitar Rp 9 triliun. Belum lagi, biaya pemilu presiden putaran pertama dan kedua, yang tentu akan membebani anggaran negara.
Angka yang fantastis, sekaligus mengundang ironi akan glamor demokrasi. Di satu sisi, rakyat melalui APBN/APBD harus mengongkosi proses melahirkan para pemimpinnya baik di eksekutif maupun legislatif. Di sisi lain, muncul pertanyaan besar, apakah hajatan demokrasi dengan biaya tinggi ini akan melahirkan pemimpin adiluhung yang diharapkan mereka? Sungguh, sulit menjawabnya di tengah rakyat yang tak lagi memiliki trust yang cukup kepada parpol dan para pengurusnya.
Kita tahu bersama, hilir-mudik aliran dana pemilu tidak saja yang diongkosi negara. Sang kandidat pun harus mengeluarkan dana yang tidak kecil. Untuk pemilu legislatif dan pilkada, mayoritas caleg/cabup/cawali/cagub sama-sama harus diawali dengan mengeluarkan "mahar politik". Ditambah biaya tetek-bengek sarana dan aksesori kampanye lainnya seperti pembelian kaus, spanduk, stiker, liflet, gantungan kunci, kalender, buku, honor saksi, survei, tim sukses, dan lain lain.
Apa gerangan yang dicari para calon pemimpin itu? Jawabannya tentu kekuasaan, kedigdayaan struktural, kehormatan, dan kemuliaan di mata yang dipimpinnya. Tapi, libido politik manusia mana yang tak mengharap pamrih setelah berkuasa?
Calon pemimpin mana pun (walau selintas sekalipun) pasti terpikir bahwa ongkos politik yang sudah dikeluarkan itu harus kembali bahkan harus bertambah berkali lipat. Kendati, setelah menjabat harus melakukan abuse of power. Hanya manusia yang saleh dan ikhlas yang memiliki energi cukup untuk mengubur pamrih politik demikian.
Pemilu tidak saja merupakan proses demokratik dalam memilih pemimpin baru (eksekutif dan legislatif), tapi momentum ini juga bisa menjadi arena perjudian politik. Disebut perjudian politik, tentu bukan sekadar pada timbangan halal-haram, tapi lebih pada taruhan menang-kalah baik yang dilakoni sang kandidat maupun pelaku judi di level masyarakat. Spekulasi yang menjurus perjudian politik ini memang ciri politik yang dominan dalam masyarakat yang menjalankan sistem demokrasi.
Di sisi lain, ongkos demokrasi pun makin mahal, sementara transisi menuju konsolidasi demokrasi pun belum tentu tercapai. Karena itu, ikhtiar merancang kehidupan yang lebih demokratik semakin menjauhkan panggang dari api.
Bagi bangsa kita yang sedang "mabuk" demokrasi, memang pemilihan umum menjadi wahana kedaulatan rakyat. Namun, pada praktiknya, kedaulatan rakyat—saat rakyat tak berdaya secara ekonomi—mudah dikontrol oleh "daya dan kedaulatan uang". Akibatnya, kedaulatan dan partisipasi publik sebagai hakikat demokrasi takkan menyala di tengah padamnya nurani bangsa.
Rakyat bisa digiring ke kanan, ke kiri, dan ke tengah, bahkan melompat-lompat bergantung pada kandidat atau partai mana yang memberikan "gizi" lebih tinggi. Pada level ini, bukan tak mungkin, rakyat akan larut dalam spekulasi politik yang dimainkan elite.
Kontrol uang dalam politik baik dalam pemilihan eksekutif maupun legislatif sudah tidak asing lagi. Sudah akrab di telinga kita seorang calon kepala desa, anggota parlemen, bupati/wali kota atau gubernur yang menghabiskan ratusan juta atau miliaran rupiah, tapi gagal meraih kekuasaan. Entah dari kocek pribadi, pinjam sana-sini, atau bahkan mem-"pesantrenkan" sertifikat rumah, tanah, atau mobil teman dan kerabatnya.
Saat uang yang dikeluarkan menjadi sia-sia karena kalah dalam pemilihan, tidak sedikit sang kandidat mengalami disorientasi dan stres berat. Kendati tidak dinafikan adanya celah terpilihnya pemimpin yang benar-benar didasarkan karena kecintaan publiknya terhadap sang calon pemimpin. Namun, tidak jarang kita mendapati kenyataan uang mampu mengalahkan kecintaan, solidaritas, dan persaudaraan.
Adakah jalan tengah yang bisa ditempuh agar ongkos demokrasi bisa ditekan seminimal mungkin? Tentu ada, walaupun jalan terjal menghadang.
Secara garis besar, pembaharuan bisa diawali dengan meninjau kembali sistem pemilihan langsung kepala daerah. Demi efisiensi, pemilihan kepala daerah dikembalikan ke format semula, yakni oleh DPRD. Cukup pemilihan presiden dan kepala desa saja yang dipilih secara langsung. Pada pemilihan kepala daerah oleh DPRD, kampanye akan terlokalisir di sekitar gedung wakil rakyat. Ongkos ekonomi dan risiko sosial seperti konflik horizontal juga bisa dihindari. Namun, agar masyarakat mengenal para calon pemimpinnya, perlu diadakan debat publik dan iklan layanan masyarakat melalui media cetak dan elektronik yang menjadi tugas KPU. Ini bagian dari tahapan uji publik sebagai penjaringan aspirasi dan bahan pertimbangan anggota dewan yang akan memilih bupati/wali kota atau gubernur di daerah pemilihan masing-masing.
Karena itu, presiden perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) atau merevisi UU Pemilu dan UU No 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Demi efisiensi, pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dilakukan secara bersamaan. Ini memang membutuhkan "keikhlasan politik" incumbent sebagai bakti mereka kepada negara dengan merelakan sebagian waktu periode jabatannya dipotong atau disesuaikan dengan waktu pilkada gabungan.
Melalui cara ini, pilkada bisa dilakukan secara serentak se-Indonesia. Rasanya, tidak terlalu sulit bila para kepala daerah menyadari beban berat yang harus ditanggung APBN/APBD bila pilkada dilakukan secara terpisah.
Seiring dengan itu, perlu segera ada pembaruan mentalitas dan budaya politik elite dan masyarakat untuk tidak berjual-beli suara lewat pilkada, bersikap gambling, dan habis-habisan dengan mempertaruhkan segala yang dimiliki. Pada saat yang sama, kita perlu mempromosikan sifat keikhlasan politik dan kenegarawanan bagi segenap individu di negeri ini, terutama bagi para calon pemimpinnya agar tidak terjerumus dalam arena perjudian politik. (*)
FAHRUS ZAMAN FADHLY, Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung
Sub-aquatic Organization in Indonesia
16 tahun yang lalu